Karnaval Pekan Budaya Tionghoa di sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer, Kota Yogyakarta, menampilkan beragam budaya nusantara, Minggu (13/2/2011) sore. Ada 25 kelompok peserta yang tampil dalam karnaval ini, bahkan ikut pula kelompok peserta dari beberapa negara sahabat.
“Ada naga barongsai, patung kelinci, dan kesenian jatilan dari Kabupaten Sleman, serta kelompok badut,” kata Ketua Umum Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), Tri Kirana Muslidatun.
Karnaval PBTY dibuka dengan penampilan sejumlah barongsai berukuran kecil, kemudian diikuti barongsai raksasa berukuran tinggi enam meter dan lebar 2,5 meter yang dibawa sejumlah anggota Yon Armed 11 Guntur Geni/Kostrad.
Sepasang patung kelinci emas berukuran tinggi 2,5 meter yang menandai tahun kelinci, juga diarak dalam karnaval tersebut. “Sepasang patung kelinci emas itu, akan dipajang di Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta selama satu tahun,” katanya.
Menurut Tri, patung tersebut dibuat dari fiberglass, sehingga bisa tahan terhadap panas dan dingin. Dalam karnaval ini juga ditampilkan kesenian jatilan dari Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, yang termasuk wilayah bencana letusan Gunung Merapi pada 2010.
Selain itu juga tampil sejumlah mahasiswa asal China yang belajar di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, yang memperagakan kemampuannya dalam seni bela diri Thaichi. Sejumlah mahasiswa asal Myanmar yang belajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menjadi bagian peserta karnaval. Mereka tampil untuk menyanyi dan menari, sekaligus menyambut tahun baru Myanmar.
Begitu pula dengan beberapa mahasiswa asal Kamboja yang belajar di UGM Yogyakarta, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), masing-masing tampil dengan kekhasannya. Mahasiswa asal Kamboja itu memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek.
“Kegiatan ini untuk kebersamaan dan perdamaian, seperti arti dari Tahun Kelinci Emas, yaitu perdamaian,” kata Tri Kirana.
Penampilan beragam kebudayaan tersebut, menurut dia menjadi bukti bahwa budaya Tionghoa telah berakulturasi dengan berbagai budaya di nusantara. Selain itu, lanjut Tri, acara ini sekaligus menggambarkan bahwa warga dari berbagai budaya nusantara merupakan satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia yang terbalut kebhinekaan.
Selama karnaval berlangsung, ribuan warga Yogyakarta memadati Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer, bahkan di sekitar pusat Kota Yogyakarta, warga rela berdesak-desakan, dan bahkan ada yang memanjat pagar hanya untuk bisa melihat karnaval secara lebih jelas. “Saya perkirakan ada sekitar 50.000 warga yang melihat karnaval ini, karena kebetulan bertepatan dengan libur akhir pekan,” katanya.
Tri berharap kegiatan ini dapat mendongkrak kepariwisataan Yogyakarta pascaerupsi Gunung Merapi. Karnaval budaya tersebut kemudian ditutup dengan penampilan liong terpanjang di Asia Tenggara, yaitu sepanjang 130 meter yang telah tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai liong terpanjang pada 2010.
PBTY yang merupakan puncak perayaan Cap Go Meh akan digelar hingga 17 Februari 2011 di kawasan Jalan Ketandan, Kota Yogyakarta, dengan menyajikan berbagai kesenian seperti wayang “poo tay hie”, lagu-lagu Mandarin, atraksi naga barongsai, serta beberapa tari daerah, dan pameran kebaya encim.
No comments:
Post a Comment